-->

Advertesiment

Opini Tentang Paradigma Baru Pedagogik Eri Orpa Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan UNJ

Redaksi
05 June 2024, June 05, 2024 WIB Last Updated 2024-06-05T11:52:46Z




Oleh: Eri Orpa
(Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan UNJ &
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Cikarang Timur).
email: bils_cikarang@yahoo.co.id

 "Karakteristik abad ke-21 menghasilkan pendekatan baru dalam pembelajaran dan penilaian. Fitur paling mencolok dari abad ke-21 termasuk multitasking, multimedia, jejaring sosial online, informasi online, dan game online”.

Revolusi Industri 4.0, yang dipicu disrupsi digital (komputasi awan, "Internet of Things", kecerdasan buatan, pencetakan 3D, "blockchain", "big data", telepon pintar) membawa perubahan radikal di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Disrupsi membawa ketidakpastian. Akibatnya adalah: Pertama, kemampuan lembaga untuk bisa bertahan / berkembang tergantung kapasitasnya menjawab tantangan ketidakpastian itu.Kedua, disrupsi memaksa kita menyusun kembali strategi kebudayaan, terutama sistem pendidikan. Kunci jawabannya adalah inovasi, yang merupakan hasil kerja sama. Maka ke depan kecerdasan kolektif sangat menentukan karena membingkai kualifikasi profesionalitas sebagai motor inovasi.

 Inovasi menuntut kompetensi khusus, meliputi hard skills: komputasi awan, kecerdasan buatan, penalaran analitis- kritis, manajemen sumber daya, user experience design, rekayasa pengembangan; dan, soft skills: kreativitas, komunikasi, kerja sama, adaptasi, manajemen waktu. Penguasaan berbagai keterampilan itu menuntut perubahan sistem pendidikan: fokus pembelajaran harus ke pemecahan masalah yang kreatif dan inovatif.

Masalahnya, model pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi masih berkutat pada pekerjaan kognitif biasa: mendengarkan, membaca, menghafal, memahami dan ujian. Model pembelajaran ini, dari perspektif taksonomi Bloom (Anderson & al., 2001: 31), belum beranjak dari lower order thinking. Keterampilan hasil cara belajar seperti ini semakin diganti teknologi awan dan otomatisasi.

Penguasaan berbagai keterampilan itu menuntut perubahan sistem pendidikan: fokus pembelajaran harus ke pemecahan masalah yang kreatif dan inovatif.

Pola Revolusi Industri 3.0 ini masih fokus ke pelatihan sebanyak mungkin tenaga kerja pabrik dan sektor perdagangan. Pembelajarannya standardisasi, penyeragaman dan produksi massal dan pemanfaatan ruang-ruang kelas belajar (Trilling & Fadel, 2009: 13). 

Padahal keterampilan di era disrupsi menuntut pembelajaran higher order thinking seperti menganalisis, mengevaluasi dan berkreasi dengan penalaran analitis- kritis.Penalaran analitis menjadi instrumen evaluasi beragam sumber daya, data, fakta, fenomena atau temuan untuk memberi makna dan merepresentasikannya. Kemampuan ini menentukan dalam menyimpulkan dari sejumlah informasi yang berguna untuk memecahkan masalah atau mengambil keputusan (Wilen, 2018: 144-145). 

Aspek kritisnya terletak dalam menilai keabsahan gagasan, memberi penilaian rasional dan mendeteksi ketidakberesan sosial (ketidakadilan, diskriminasi, manipulasi) dari informasi. Semua keterampilan ini menuntut perubahan sistem pendidikan. Perubahan akan berhasil bila arah pendidikan bisa menjawab tiga pertanyaan berikut. Pertama, pengetahuan, keterampilan dan kompetensi seperti apa yang diperlukan orang muda agar berhasil menghadapi disrupsi digital. 

Kedua, bagaimana agar model pembelajaran mampu menyiapkan orang muda menghadapi tuntutan disrupsi digital. Serta ketiga, bagaimana membantu pendidik mengubah pola pikir untuk menyesuaikan tuntutan model pembelajaran baru di mana pusatnya bukan lagi pendidik, tetapi pembelajar.

Keterampilan di era disrupsi

Jawaban pertanyaan pertama, ada enam jenis keterampilan yang diperlukan di era disrupsi: (i) keterampilan menyampaikan gagasan dan coding literacy; (ii) keterampilan dalam penalaran analitis dan kritis; (iii) keterampilan komunikasi; (iv) keterampilan teknologi informasi; (v) keterampilan manajemen organisasi-simpul-jejaring-jala-ikan; (vi) keterampilan perencanaan dan organisasi untuk inovasi. 

Keenam keterampilan ini mengandaikan pola pembelajaran khusus. Pertama, mengajukan pertanyaan yang tajam. Kedua, mengevaluasi informasi. Ketiga, mencari bukti. Keempat, membandingkan dan menganalisis. Kelima, memperhitungkan konteks sehingga pembelajar bisa mengusulkan pemecahan masalah kreatif. Maka, pendidik harus terampil merancang banyak proyek konkret agar bisa dikerjakan pembelajar dengan memperhitungkan konteksnya.

Model pembelajaran kreatif

Model pembelajaran harus mempertajam pemikiran analitis-kritis untuk memecahkan masalah secara kreatif. Penulis mengusulkan lima kerangka pelatihan: (i) logika abduksi; (ii) lima langkah memecahkan masalah secara ilmiah; (iii) design thinking; (iv) cara berpikir komputasional; dan (v) analisis wacana kritis.

Pertama, bukan deduksi atau induksi, logika abduksi merupakan bentuk penalaran yang mulai dengan pengamatan, lalu menemukan penjelasan termudah, yang lebih dekat kebenaran. Kemungkinan jawabannya banyak, maka sifatnya hipotetis. Penalaran abduktif merupakan penyimpulan logis yang masih membuka kemungkinan jawaban beragam: “yang terbaik paling mungkin” atau “yang paling masuk akal”.

Pembelajar didorong berani bereksperimen, berpikir berbeda dan kreatif

Justru keterbukaannya terhadap beberapa kemungkinan pemecahan itu yang membantu pembelajar kreatif, tak takut memiliki pendapat berbeda yang kondusif untuk inovasi. Pembelajar didorong berani bereksperimen, berpikir berbeda dan kreatif.

Kedua, lima langkah untuk memecahkan masalah adalah: (1) mengungkap masalah yang masih dalam situasi tak pasti; (2) merumuskan masalah secara jelas dan terpilah- pilah; (3) mengusulkan kemungkinan pemecahan masalah dengan menguji usulan untuk dijadikan gagasan penuntun pengamatan; (4) memberi penalaran, evaluasi pemecahan masalah atau konsekuensinya untuk diverifikasi; dan (5) menerapkan, menguji dan menindaklanjuti pemecahan yang dipilih atau memverifikasi hipotesis (Dewey, 1933). Latihan ini membuat pembelajar terampil merumuskan masalah secara tajam, mengusulkan pemecahan yang kreatif dan membiasakan untuk reflektif.

Ketiga, design thinking merupakan proses kognitif, strategis dan praktis untuk mengembangkan konsep desain yang biasanya dikembangkan oleh designer. Cara berpikir ini didukung sarana non-verbal, grafik atau media pemodelan; mengombinasikan logika, intuisi dan penalaran sistematis dengan menerapkan penalaran produktif (logika abduktif). Langkah-langkahnya (Pressman, 2019): (1) empati dan mengumpulkan informasi; (2) analisis dan definisi masalah; (3) menciptakan gagasan baru yang potensial memberi pemecahan masalah; (4) membuat sintesis dengan pemodelan dan implementasi; (5) evaluasi kritis.

Proses pembelajaran ini mengembangkan sikap empati, percaya diri, komunikatif, luwes dan terbuka. Empati mendorong ke komitmen untuk memecahkan masalah. Keterampilan ini menyatukan kesadaran akan situasi dan empati demi lahirnya gagasan baru. Keempat, berpikir komputasional merupakan cara berpikir yang berorientasi untuk memecahkan masalah dengan merancang sistem agar bisa direpresentasikan dan dijalankan lebih efektif oleh pemroses informasi (Mailund, 2021).

Lima komponennya: (i) dekomposisi, yaitu memecah data, proses atau masalah kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana; (ii) mengenali pola berarti mengamati pola dan keteraturan data, lalu menghubungkan dengan masalah sejenis; (iii) abstraksi berfungsi merumuskan masalah utama dengan mengurangi informasi- informasi yang tidak diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Kemudian; (iv) algoritma, mendesain petunjuk langkah-langkah memecahkan masalah untuk tujuan sejenis; dan, (v) evaluasi untuk memastikan solusinya tepat (Mailund, 2021: 44-46). Latihan ini membiasakan pembelajar untuk berpikir sistematis, metodis, koheren dan kreatif sehingga mampu mengoptimalkan penggunaan big data untuk meningkatkan kinerja.

Kelima, analisis wacana kritis mengasah pikiran kritis agar jeli dan tajam menganalisis retorika, manipulasi atau penyesatan dalam komunikasi. Asumsinya, di balik bahasa ada ideologi, maka bahasa dipakai sebagai instrumen kekuasaan. 

Langkah-langkahnya (Fairclough, 2010: 234) adalah: (i) memfokuskan pada ‘ketidakberesan sosial’ (ketidakadilan, diskriminasi, adu-domba, manipulasi, prasangka negatif, kambing hitam); (ii) mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ‘ketidakberesan sosial’; (iii) apakah tatanan sosial ‘membutuhkan’ ketidakberesan sosial itu? (iv) mengusulkan pemecahan masalah untuk mengatasi hambatan- hambatan itu.

Melalui latihan ini, pembelajar dibiasakan peduli terhadap kesenjangan sosial, diskriminasi, ketidakadilan, intoleransi dan ditantang mengusulkan pemecahannya. Pembelajar menjadi kritis terhadap retorika, wacana manipulatif, menyesatkan dan indoktrinasi. Pembelajar dibekali alat penangkal gagasan-gagasan radikal dan penyaring hoaks.

Kelima pola pembelajaran di atas menjawab keprihatinan cara memberi kerangka dasar agar pendidikan karakter bisa diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran atau mata kuliah.

Mengubah pola pikir pendidik

Dewasa ini, semakin disadari bahwa tekanan materi pembelajaran STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) harus diimbangi landasan liberal arts sebagai cara untuk membantu perkembangan daya mental/karakter pembelajar dan semua sumber daya pemikirannya baik nalar kritis, analitis maupun kreatif.

Liberal arts dewasa ini meliputi sastra, filsafat, ilmu sosial, etika dan estetika yang membantu keterbukaan dan keluwesan berpikir. Untuk menyesuaikan berbagai tuntutan perubahan model pembelajaran yang baru itu, pola pikir pendidik harus berubah: pusat pembelajaran bukan lagi pendidik, melainkan pembelajar.

Iklim pembelajaran perlu diciptakan agar hasrat pembelajar untuk mengeksplorasi dan bereksperimen tinggi.

Maka pendidik harus menyesuaikan dengan enam fungsi barunya sebagai: (i) perancang pemberdayaan pembelajaran; (ii) narasumber terbatas; (iii) manajer ekosistem pemecahan-masalah; (iv) fasilitator; (v) sumber daya motivasi untuk inovasi; (vi) teladan untuk selalu belajar dan berjejaring (Gleason, 2018; Jukes & Schaaf, 2019).

Kesimpulan 

Pada abad ke-21, terjadi transformasi besar dalam aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang dipengaruhi oleh empat kekuatan utama yang saling terkait: kemajuan sains dan teknologi, perubahan demografis, globalisasi, dan lingkungan. Misalnya, kemajuan dalam komunikasi yang lebih murah dan biaya transportasi yang menurun telah memicu globalisasi, menciptakan ekonomi global, komunitas global, dan budaya lokal. Perusahaan industri berubah menjadi entitas yang lebih kompeten. Perubahan lingkungan, seperti pemanasan global, berdampak pada kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan. Kekuatan-kekuatan ini juga mempengaruhi dunia pendidikan di berbagai sekolah (Andriani, 2010:79).

Karakteristik abad ke-21 menghasilkan pendekatan baru dalam pembelajaran dan penilaian. Fitur paling mencolok dari abad ke-21 termasuk multitasking, multimedia, jejaring sosial online, informasi online, dan game online. Karakteristik ini dimiliki oleh sebagian besar orang yang hidup di abad ke-21, terutama kaum muda. Abad ini juga menekankan pada keterampilan belajar dan refleksi, literasi TIK, dan keterampilan hidup.

Pembelajaran abad ke-21 menawarkan perubahan signifikan dalam dunia pendidikan, di mana fokus bergeser dari hasil akhir ke proses pembelajaran itu sendiri. Pendekatan ini melatih siswa untuk memiliki keterampilan refleksi yang tinggi, kreativitas, komunikasi, dan Kolaborasi. Tren pembelajaran abad ke-21 ditandai oleh kompleksitas teknologi pembelajaran dan munculnya gerakan restrukturisasi pendidikan yang menekankan kombinasi antara teknologi dan kualitas manusia. Dunia kerja kini mencari individu yang mampu mengambil inisiatif, berpikir kritis, kreatif, dan mampu menyelesaikan masalah.

Komentar

Tampilkan

  • Opini Tentang Paradigma Baru Pedagogik Eri Orpa Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan UNJ
  • 0

Berita Lainnya

Pemilu